Orasi di Kamar Peneleh
Semasa Soekarno menjalani pendidikan Hogere Burgerlijks School (HBS), ia indekos di rumah HOS Tjokroaminoto di Gang Peneleh Gang VII No. 29-31, Surabaya. Di sana, Soekarno dititipkan ayahnya untuk “mondok”. Ketika itu, pada 1916, usianya baru 15 tahun.
Soekarno muda beserta teman-teman indekosnya tidur beralaskan tikar yang tipis. Di beberapa bagian, khususnya di bagian loteng, langit-langitnya menggunakan material anyaman bambu. Minimnya penerangan waktu itu juga disebutkan dalam arsip museum. Di mana Soekarno menyebutkan bahwa dirinya tak mampu membeli lampu bohlam. Sehingga berinisiatif menggunakan pelita.
Soekarno muda mesti rela serba kekurangan bahkan tak mampu membeli kelambu agar tidurnya terbebas dari gigitan nyamuk. Dalam bilik tersebut hanya ada sehelai tikar tipis, meja reyot tempat menyimpan buku dan kursi kayu. Semua itu tak membuat Soekarno malas belajar. Semangatnya untuk bisa berpidato dengan baik tak pernah kendur.
Di Gang Peneleh itu pula Soekarno dan teman-temannya banyak bertemu dengan pembaru Islam seperti Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah. Lingkungan seperti itulah yang menempa anak-anak kos di Gang Peneleh. Tak hanya sekedar belajar di sekolah dan tidur di rumah kos, mereka pun belajar dan berdiskusi dengan bapak kosnya. Tikar di kamar kos itu hanyalah untuk istirahat sejenak. Istirahat sejenak dari perjuangan bangsa Indonesia. Yang kelak menjadi fondasi Indonesia. Hingga meraih kemerdekaan.
Di kamar kosnya yang pengap itu, di depan cermin, Soekarno muda gemar berlatih orasi. Polah Soekarno yang gemar teriak-teriak itu terkadang membuat kawan-kawannya jengkel ataupun tertawa. Pesan yang diberikan Tjokroaminoto kepada muridnya waktu itu ialah ‘Jika kalian ingin menjadi pemimpin besar, menulislah seperti wartawan dan bicaralah seperti orator’. Pesan itu membekas di benak Soekarno.