Bung Karno dan Buku-Bukunya

Bung Karno

Bung Karno dikenal sebagai seorang pemimpin yang sangat mencintai buku. Dalam sehari, ia bisa membaca dua hingga tiga buku, hal ini menunjukkan betapa besar rasa hausnya akan pengetahuan. Ribuan koleksi pribadinya dipenuhi dengan berbagai catatan pinggir, bukti bahwa ia tidak hanya membaca, tetapi juga merenungkan dan mencatat pemikiran-pemikirannya.

Bill Gates, salah satu tokoh terkemuka di era modern, juga dikenal dengan kecintaannya pada membaca. Ia selalu membawa koper penuh buku ke manapun ia pergi dan bisa membaca sekitar 500 halaman setiap hari. Dari ini dapat ditunjukkan bahwa kecintaan pada buku dan belajar adalah sifat universal yang dimiliki oleh para pemimpin besar di berbagai era.

Dalam buku “Bung Karno: Bapakku, Kawanku, Guruku,” Guntur Soekarno menceritakan bahwa ia sering membantu mengambilkan buku untuk Bung Karno hingga tertidur saat sang ayah tengah mempersiapkan pidato. Kisah ini memperlihatkan betapa seriusnya Bung Karno dalam mempersiapkan diri dan betapa pentingnya peran buku dalam hidupnya.

Ketertarikan Sukarno membaca buku berawal dari perkenalannya dengan Haji Oemar Said Tjokroaminoto, pemimpin organisasi Sarekat Islam. Takala menempuh pendidikan HBS (setara SMA) di Surabaya, Sukarno mondok di kediaman Tjokroaminoto. Di bawah gemblengan Tjokro, pengembangan intelektual Sükarno terpupuk.

“Aku duduk dekat kakinya (Tjokroaminoto) dan diberikannya kepadaku buku-bukunya, diberikannya kepadaku miliknya yang berharga,” tutur Sukarno dalam otobiografinya Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia.

Selain pengaruh figur Tjokro, kemiskinan jadi pintu masuk bagi Sukarno menggumuli dunia literasi. Perpustakaan theosofi di Surabaya adalah tempat yang kerap disambangi Sukarno untuk menghabiskan waktu melahap buku politik. Kemudahan memperoleh bacaan di perpustakaan tersebut karena ayahnya, Raden Sukemi adalah seorang anggota perkumpulan theosofi. Di sana, dia mendapat kepuasan pengganti kondisi kekecewaan dalam pergaulan melalui bacaan.

“Buku-buku menjadi temanku. Dengan dikelilingi oleh kesadaranku sendiri aku memperoleh kompensasi untuk mengimbangi diskriminasi dan keputus-asaan yang terdapat di luar. Dalam dunia kerohanian dan dunia yang lebih kekal inilah aku mencari kesenanganku. Dan di dalam itulah aku dapat hidup dan sedikit bergembira, ” ujar Sukarno.

Membaca adalah kunci untuk membuka wawasan dan memahami berbagai perspektif. Bagi Bung Karno, buku-buku adalah sumber inspirasi dan pengetahuan yang tak ternilai harganya. Ia meyakini bahwa pemimpin yang baik harus terus belajar dan memperkaya diri dengan pengetahuan.

Selanjutnya selain kegemaran membaca buku Sukarno dapat dilihat berbagai buku karangannya. Sepanjang hidupnya, Sukarno tergolong penulis produktif yang membukukan buah pikirannya. Beberapa diantara seperti Mencapai Indonesia Merdeka (1933), Lahirnya Pancasila (1945), Sarinah (1951), dan yang terpenting kumpulan tulisannya dalam Di Bawah Bendera Revolusi Jilid 1 (1959) dan Jilid 2 (1960).

Korelasi ini mengingatkan kita akan pentingnya buku dan membaca dalam kehidupan sehari-hari, terutama bagi para pemimpin. Bung Karno dan Bill Gates adalah contoh nyata bagaimana kecintaan pada buku dapat membentuk karakter dan visi seorang pemimpin. Melalui membaca, kita dapat memperluas cakrawala, mengasah pemikiran kritis, dan menemukan solusi kreatif untuk berbagai masalah.

Sebagai generasi muda, kisah Bung Karno dan bukunya ini bisa dijadikan pelajaran penting setiap generasi bahwa investasi waktu untuk membaca dan belajar akan membuahkan hasil yang luar biasa. Buku adalah jendela dunia, dan melalui membaca, kita dapat terus berkembang dan menjadi individu yang lebih baik.