Gowes Bareng Bung Karno
Soekarno atau Bung Karno dikenal dengan salah satu tokoh yang gemar mengoleksi sepeda. Tak bisa dipungkiri, sepeda menjadi bagian kecil dari kehidupan digemari.
Dituliskan dalam autobiografinya, ‘Bung Karno Penyambung Lidah Rakjat Indonesia’ karya Cindy Adams, ia menceritakan salah satu momen saat Bung Karno masih bersekolah di HBS (SMA) Surabaya. Ia berkeinginan mempunyai sepeda.
“Setiap anak mempunyai sepeda. Aku sendiri yang tidak,” kata Bung Karno kepada Cindy Adams.
Bung Karno berkeinginan mempunyai sepeda seperti teman-temannya. Namun ia tidak mungkin meminta sepeda kepada orang tua. Bung Karno mulai menabung hari demi hari dan akhirnya berhasil membeli sepeda seharga delapan rupiah.
“Kubeli fongers yang hitam mengkilat sepeda keluaran Negeri Belanda,” kata Bung Karno bangga.
Pada satu kesempatan, Harsono putra H.O.S. Cokroaminoto yang masih berusia tujuh tahun, isengiseng mengeluarkan sepeda Bung Karno, dan menaikinya. Tentu saja tanpa seizin Bung Karno. Namun, tiba-tiba ia tidak bisa mengendalikan laju sepeda, dan menabrak tembok. Sepeda Bung Karno ringsek seketika dan membuat hati Soekarno menangis melihat sepeda kesayangan yang ia beli dengan susah payah, kini ringsek.
Beberapa tahun kemudian, ketika Bung Karno sudah menjadi tokoh pergerakan, mengetuai organisasi, mendapat honorarium, ia kembali membeli sepeda. Menariknya, sepeda itu bukan untuk dirinya, melainkan untuk si Harsono. Mungkin dirinya merasa bersalah dulu pernah menyepak pantat Harsono karena marah.
Setelah tamat dari HBS Surabaya, Bung Karno mendaftarkan diri ke Technische Hooge School (THS), sekarang Institut Teknologi Bandung dengan jurusan Teknik Sipil.
Pada saat itu, sepeda menjadi andalan Bung Karno untuk beraktivitas. Ia mengayuh sepeda untuk menjumpai petani, buruh, pedagang kecil, kusir sado, dan kawan-kawan seperjuangannya. Kadang ia mengayuh sepeda tak tentu arah, sambil memikirkan sesuatu.
Dalam buku Kuantar ke Gerbang, Inggit Ganarsih menceritakan, dengan wajah penuh gembira. Bung Karno bercerita bahwa dirinya telah mengayuh sepeda ke Cigereleng sampai di Desa Cibintinu dan bertemu dengan petani yang masih muda bernama Marhaen.
“Siapa yang punya semua yang engkau kerjakan sekarang ini?” kata Soekarno kepada petani itu.
“Saya, juragan,” jawab petani itu. Soekarno melanjutkan, “Apakah engkau memiliki tanah ini bersama-sama dengan orang lain?” Dijawab, “O, tidak, gan. Saya sendiri yang punya.”
“Tanah ini kau beli?” sambung Soekarno. “Tidak. Warisan bapak kepada anak turun temurun,” tegasnya.
Usai percakapan singkat itu, petani Marhaen melanjutkan pekerjaannya mencangkul sawah. Sementara Soekarno diam sejenak, mengumpulkan pertanyaan-pertanyaan yang sedang dipikirkannya saat bersepeda tadi.
Percakapan pun dimulai lagi. “Bagaimana dengan sekopmu? Sekop ini kecil, tapi apa ini kepunyaanmu juga?” tanya Soekarno. “Ya, gan,” jawabnya. “Dan cangkul?” sambungnya. “Ya, gan,” jawabnya. “Bajak?” tambah Soekarno. “Saya punya, gan,” katanya.
“Untuk siapa hasil yang kaukerjakan?” sambung Soekarno lagi. “Untuk saya, gan,” jawabnya. “Apakah cukup untuk kebutuhanmu?” tanya Soekarno mendesak. Pernyataan itu sempat membuat petani Marhaen diam dan berpikir sejenak.
“Bagaimana sawah yang begini kecil bisa cukup untuk seorang istri dan empat orang anak?” jawab petani itu segera dengan pertanyaan. Karena terlalu asyik dengan pikirannya sendiri dan sejumlah pertanyaan yang ingin diketahui, Soekarno hampir lupa menanyakan siapa nama petani muda itu. Setelah ditanya, petani itu menjawab, “Marhaen.”
Selesai dengan percakapan itu, Soekarno pamit pulang. Selama dalam perjalanan pulang itu, dia membatin di atas sadel sepedanya.
“Aku akan memakai nama itu untuk menamai semua orang Indonesia yang bernasib malang seperti dia!” katanya.
“Seorang Marhaen adalah orang yang memiliki alat-alat yang sedikit, orang kecil dengan milik kecil, dengan alat-alat kecil, sekadar cukup untuk dirinya sendiri. Bangsa kita yang puluhan juta jiwa, yang sudah dimelaratkan, bekerja bukan untuk orang lain dan tidak ada orang bekerja untuk dia. Tidak ada pengisapan tenaga seorang oleh orang lain,” kata Soekarno setelah berhasil merumuskan gagasannya tentang Marhaen.
“Marhaenisme adalah sosialisme Indonesia dalam praktik,” tegas Soekarno kepada Inggit, seperti dikutip dalam halaman 57.
Sepeda juga menjadi saksi bisu yang mengantarkannya ke berbagai pertemuan politik. Bahkan Bung Karno juga terkenal sebagai seorang pengendara sepeda yang baik. Dalam beberapa kunjungan ke luar negeri, ia juga sempat menjajal sepeda-sepeda onthel kebanggaan dari negara tersebut.
Salah satunya saat Ir Soekarno dan Ibu Fatmawati mendapat undangan dari Presiden India pada 1950, ketika ban mobilnya tiba-tiba kempes, Soekarno tiak menyia nyiakan waktu dengan diam saja. Ia memutuskan untuk meminjam sepeda dari seorang petani. Dia juga menyempatkan diri untuk mengayuh sepeda, memboncengkan Ibu Fatmawati menyusuri jalan menuju Taj Mahal di Uttar Pradesh